Ironi Demokrasi Dalam Kotak Kosong

Bagikan

Jtizen.com – Demokrasi telah memabawa banyak perubahan pada system penyelenggaraan Negara, dimana Demokrasi mempunyai prinsip persamaan dan kebebasan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat berupaya untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang adil,damai, dan sejahtera. Banyak makna dari Demokrasi, seperti Aksioma yang terkenal dari Abraham Lincoln menyatakan bahwa “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu ini lebih dari semboyan bagi rakyat agar mampu menentukan nasibnya sendiri dalam kehidupan bernegara.

Demokrasi juga diartikan sebagai pengakuan dan penghargaan hak-hak warga negara dalam berbagai event pemilu, yang mana warga Negara dapat mengaktualisasikan hak-haknya untuk memilih dan dipilih dalam setiap Pemilu. Terdapat korelasi yang jelas antara Demokrasi dan pemilu. Pemilu merupakan salah satu sarana agar Demokrasi tetap hidup.tumbuh, dan berkembang. Melalui pemilu pula rakyat dapat mengkoreksi serta mengevaluasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan cita-cita Negara.

FENOMENA BLANK VOTE

Dewasa ini kita tengah dihadapkan dengan fenomena Blank Vote (kotak kosong) dalam kontestasi politik. Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor.100/PUU-XIII/2015, menyatakan bahwa calon tunggal dapat mengikuti Pilkada. Tentu ini menjadi sebuah Ironi dalam Negara demokrasi, khusunya dalam partisipasi masyarakat mengikuti kontestasi politik. dimana dalam kontestasi politik seharusnya dapat menampilkan pilihan yang beragam dan ternyata hanya mampu memunculkan calon tunggal. Terang saja ini mencoreng wajah Demokrasi.

Fenomena ini dapat dianalisa dalam 2 (dua) aspek : Pertama, kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya. Karena partai politik memiliki peran besar dalam menjalankan roda Demokrasi, terutama pada Negara yang menganut Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy) seperti Indonesia. partai politik seharusnya menjadi wadah komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan sarana penyelesaian konflik. Kalaulah fungsi ini dijalankan dengan benar tentu dalam setiap pemilu akan memberikan alternatif-alternatif kepada masyarakat untuk memilih dengan berbagai gagasan, ide, dan inovasi yang dimiliki oleh masing-masing calon. Kedua, Apatisme Politik. kurangnya minat masyarkat terhadap partisipasi politik baik sekedar menyampaikan Aspirasi maupun dalam hal memilih dan dipilih, tentunya akan meusak eksistensi Demokrasi itu sendiri. Faktor yang menyebabkan Apatisme Politik diantaranya :

  1. Ketidakberdayaan Politik. Masyarakat merasa bahwa mereka tidak mampu untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan.
  2. Politik Amoral. Seperti banyaknya praktek Money Politic, Black Campaign, Isu SARA dan tidak Transparannya proses pemungutan suara.
  3. Kekecewaan Politik. Banyaknya pejabat public yang dipilih secara seksama dalam pemilihan tidak merepresentasikan keinginan pemilih.

Faktor inilah yang menyebabkan masyarakat Jengah serta merasa enggan untuk terlibat dalam penyelenggaraan Demokrasi.

Terdapat Paradoks terhadap Apatisme Politik, bahwa terciptanya sikap apatis ini dikarenakan Faktor Sosial Ekonomi. Karena kekayaan dan tingkat pendidikan berkorelasi kuat terhadap partisipasi politik. Semakin rendah tingkat ekonomi dan pendidikan maka semakin rendah pula partisipasi politiknya. Contohnya saja, kenapa orang tidak ingin mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif ataupun kepala daerah, karena sudah terpatri dalam benak mereka kalau mereka tidak mampu secara Ekonomi dan tidak mempunyai tingkat pendidikan yang layak untuk bersaing dalam Kontestasi Politik.

Namun apalah daya Demokrasi yang menginginkan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan Negara tidak tercipta. Munculnya calon tunggal dalam pemilu mengindikasikan lemahnya pemahaman kita berdemokrasi. Padahal, Pemerintah melalui berbagai mekanisme telah mengupayakan agar setiap individu ambil bagian dalam kontestasi politik, baik maju sebagai calon melalui jalur partai politik maupun maju melalui jalur perseorangan (Independent).

EDUKASI POLITIK

Edukasi politik secara Masif harus segera dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan, baik itu lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, partai politik, sampai para aktivis politik. Agar mampu menciptakan budaya politik yang sehat dan berkelanjutan dalam masa mendatang. Semoga asas persamaan dan kebebasan yang diharapkan oleh Demokrasi dapat terwujud, sehingga mampu melahirkan pemimpin yang kuat dan unggul dalam hal gagasan dan tata kelola pemerintahan.

Oleh : Othman Ballan, S. H., M. Kn

(Akademisi / Dosen Hukum Universitas Graha Karya Muara Bulian)

Baca Juga