JTIZEN.COM, JAMBI – Sengketa tanah warisan di Kota Jambi kembali mencuat setelah keluarga Almh. Ratumas Saidah binti H. Pangeran Kasim menilai adanya upaya sistematis untuk mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap selama lebih dari 60 tahun.
Tanah yang seharusnya sudah jelas status kepemilikannya berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jambi No. 30/1963 Perdata, hingga kini masih terhambat penerbitan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurut pihak keluarga, penyebabnya adalah penggunaan dokumen sporadik yang sudah dicabut dan dibatalkan sejak tahun 2010.
“Pertanyaannya sederhana: siapa yang lebih kuat di negeri ini? Putusan hakim yang final, atau selembar kertas sporadik yang sudah tidak sah?,” kata cucu Almh. Ratumas Saidah, Habib Ahmad Syukri Baragbah, SH.I., saat ditemui di Jambi, Senin (18/8/2025).
Putusan 1963: Kepemilikan Sah
Putusan PN Jambi No. 30/1963 Perdata menegaskan:
- Tanah sengketa adalah harta warisan Almh. Ratumas Saidah binti H. Pangeran Kasim (istri pertama Alm. Sayid Mohamad Saleh).
- Hak atas tanah tersebut jatuh kepada anak-anak kandung Ratumas Saidah, yang garis keturunannya kini diwakili oleh Ahmad Syukri.
“Putusan ini adalah benteng hukum kami. Negara sudah memutuskan sejak 1963. Seharusnya tidak ada lagi perdebatan,” ujar Syukri.
Dokumen Sporadik yang Dicabut
Namun pada 2008, muncul Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) atas nama Lukman Hasny, keturunan dari istri kedua Alm. Sayid Mohamad Saleh. Dokumen ini digunakan untuk menghambat penerbitan sertifikat di BPN.
Namun, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap, sporadik itu sudah dicabut dan dibatalkan secara resmi melalui Surat Kelurahan Paal V Kotabaru No. 593/01/2010.
“Dokumen yang sudah batal itu tetap dipakai untuk menciptakan sengketa buatan. Tujuannya jelas: mengulur waktu, melelahkan kami, dan membingungkan BPN. Ini pelecehan terhadap administrasi negara” tegas Syukri.
Tanda Tangan Leluhur yang Terlupakan
Selain putusan pengadilan, pihak keluarga juga menunjukkan bukti berupa Surat Jual Beli tahun 1959 yang ditandatangani Hassan (ayah Lukman Hasny) dan Anna binti Taher (nenek Lukman Hasny). Dalam surat tersebut, keduanya mengakui bahwa tanah mereka berbatasan langsung dengan tanah milik Ratumas Saidah.
“Bagaimana mungkin seorang anak mengklaim tanah ini, sementara ayah dan neneknya sendiri sudah mengakuinya 60 tahun lalu? Hukum mengenal asas estoppel: Anda tidak bisa menyangkal pengakuan yang sudah dibuat pendahulu Anda,” ujar Syukri.
Dari Sengketa Perdata ke Ranah Pidana
Pihak keluarga menegaskan bahwa persoalan ini bukan lagi sekadar sengketa perdata. Aksi fisik berupa pemasangan plang dan pengukuran sepihak mendorong mereka melaporkan Lukman Hasny ke kepolisian.
Kini, Lukman berstatus terlapor di Polda Jambi dengan dugaan tindak pidana:
Pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) &
Penyerobotan lahan (Pasal 385 KUHP).
“Ketika putusan pengadilan diabaikan dan dokumen batal tetap digunakan, ini sudah masuk ranah pidana,” kata Syukri.
Ujian Integritas Institusi
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan pertanyaan fundamental soal tegaknya hukum.
“Untuk BPN: apakah akan tunduk pada putusan pengadilan yang inkracht atau terus membiarkan prosesnya disandera dokumen tidak sah?. Untuk aparat penegak hukum: apakah pola penggunaan dokumen batal dan pengabaian putusan hakim akan ditindak sebagai kejahatan pertanahan, atau dibiarkan berlarut-larut?,” tanya Syukri.
“Kami hanya menuntut satu hal: tegakkan hukum yang sudah ada. Laksanakan putusan pengadilan 1963, terbitkan sertifikat kami. Kami sudah menunggu lebih dari 60 tahun. Jika tidak, kami siap turun ke jalan menjemput keadilan,” tutup Ahmad Syukri.